21 Oktober 2012

KEYAKINAN DALAM BERIMAN

Teman-teman masih ingat bukan? Mengenang sedikit masa lalu, masa kecil atau remaja yang bahagia kalau tidak mau dibilang kecil.. hehee.., ketika bersama dengan teman-teman belajar mengaji.. baik di Mesjid, Surau atau di rumahnya Ustad-Ustad kita tercinta, jadi terharu.. betapa mereka tanpa pamrih memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita murid-muridnya, semoga Allah senantiasa merahmati dan memberi keberkahan kepada mereka.. amin..

Eits.. malah bercerita, bukan cerita itu yang akan saya tuliskan, baiklah kembali ke tema utama. Kali ini saya akan sedikit sharing tentang makna iman. Masih kita ingat, pelajaran di mesjid, surau, rumah dan sekolah atau di mana saja.. rukun iman ada enam, yaitu :

Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Nabi dan Rasul, hari akhir, dan juga qoldo dan qodar

Nah.. apakah iman? “iman adalah mempercayai atau meyakini rukun iman, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan” sebatas itu yang saya ketahui sejak dulu, tetapi ternyata itu tidak cukup, mengapa? Memang benar bahwa iman adalah percaya atau yakin, dan kepercayaan atau keyakinan itu harus diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, itu harus, tetapi percaya atau yakin yang layak disebut iman itu seperti apa?

Keyakinan yang mengantarkan pada keimanan

Berikut adalah makna iman, Al-îmân: tashdîq jâzm muthâbiqun li al-wâqi’ ‘an dalîl. Artinya iman adalah pembenaran yang pasti, sesuai dengan realitas dan berdasarkan dalil. Dengan demikian, ada tiga poin, syarat keyakinan itu layak menjadi iman, yaitu pertama pembenaran yang pasti, kedua sesuai dengan realitas dan yang ketiga berdasarkan dalil

Pembenaran yang pasti, maksudnya adalah pembenaran terhadap yang diyakini harus bulat, harus pasti, 100%, tidak boleh kurang sedikit pun, artinya tidak ada keraguan di dalamnya.

    @ contoh keyakinan yang pasti 
    • Si Fulan ditanya, “kamu percaya Jin itu ada?” Kemudian Fulan menjawab “iya, saya percaya Jin itu ada.” Kemudian ditanya lagi, “yakin kamu?” Fulan menjawab lagi, “iya, yakin, kan ada dijelaskan dalam Al-Qur’an, jadi saya percaya dan yakin.” Yang demikian maka dapat dikatakan bahwa Si Fulan mempunyai keyakinan yang pasti, 100% pasti dan tidak ada keraguan sedikit pun.
        @ Contoh keyakinan yang tidak pasti, < 100%
    • Si Fulan ditanya, “kamu percaya Jin itu ada?” Kemudian Fulan menjawab “iya, saya percaya Jin itu ada.” Kemudian ditanya lagi, “yakin kamu?” Fulan menjawab lagi, tapi agak lama karena mikir dulu, “wah, mungkin ada atau tidak yaa? Soalnya saya belum pernah melihat Jin” nah, pada contoh ini Si Fulan tidak mempunyai keyakinan yang pasti, jadi nilainya kurang dari 100%.
Keyakinan terhadap yang kita imani harus pasti, karena apabila kurang sedikit saja, maka keyakinan atau pembenaran tersebut tidak akan menghantarkan pada keimanan, malah yang ada adalah keraguan.

Jadi, apabila kita ditanya, “kamu percaya Allah itu ada”, maka kita jawab, “saya percaya Allah ada”, dan kita juga harus mampu membuktikannya, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli.
Sesuai dengan realitas, artinya apa yang kita yakini memang sesuai dengan realitas, memang benar ada dan tidak diada-adakan.

Pernah seorang Arab Badui ditanya oleh Rasul, kira-kira begini: wahai Fulan dengan apa kamu percaya Allah itu ada? Maka Fulan menjawab, “telapak kaki onta menunjukkan adanya onta.” Cerdas juga Orang Badui ini, hehee.. Atau ketika kita ditanya, “kamu yakin ada pesawat?” kita jawab “iya saya yakin, saya mendengar suara pesawat”, kita juga gak kalah cerdas kan? Hehee.. artinya apa? Untuk meyakini eksistensi atau keberadaan sesuatu kita tidak harus melihat sesuatu yang kita yakini, apalagi untuk melihat Allah, akal dan panca indera kita tidak akan mampu menjangkau Allah Yang Maha Perkasa, tetapi dengan memperhatikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya kita yakin bahwa Allah itu eksis atau ada.

Yang terakhir adalah berdasarkan dalil, keyakinan harus bisa dibuktikan, bukti itu yang disebut dalil, bisa dengan dalil aqli dan atau dalil naqli, tergantung pada perkara yang diimani, apabila perkara yang dimani masih dapat dijangkau oleh akal, maka dapat menggunakan dalil aqli, seperti eksistensi Allah, Kitab Al-Qur’an dan Rasulullah. Namun apabila perkara yang diimani tidak mampu dijangkau oleh akal, maka kita menggunakan dalil naqli, yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits mutawattir, contohnya adalah keberadaan surga dan neraka yang kita ketahui dari Al-Qur’an dan Hadits.

Demikianlah, walau agak panjang lebar padahal sudah berusaha menulis sesingkat mungkin, mudah-mudahan dapat dipahami, dan apabila ada salah silahkan dikoreksi, kritik dan saran sangat diharapkan.

Wallahu’alm…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar